Monday, July 11, 2011

KC I&K 1 ~Obsesi~ Part 1


Insan masih belum sepenuhnya terjaga ketika HP-nya berdering-dering dengan nyaring. Ia melirik sejenak dan terbeliak menatap dering Big Boss di layarnya.
 "Ya, Pak Kamil ...."
  "Insan, siapkan semua desain pakaian yang saya minta sebelum jam delapan pagi. Saya harus meeting dengan klien jam sembilan. Terimakasih."
 Klik........! Hubungan langsung terputus. Tanpa kompromi dan tanpa penjelasan.
 "Nggak bisa apa minta baik-baik? Sakit tuh orang!" seru Insan dengan jengkel. Ia tengah melemparkan HP-nya ke tempat tidur.
 Insan melirik jam dinding di kamarnya yang stylish dan tertata rapi. Jam dinding itu berada di antara benda-benda hiasan yang menunjukkan citarasa seni dan artistik. Baru jam setengah empat pagi. Insan mengucak-ucak matanya. Tidak yakin dengan pandangannya. Baru percaya setelah melihat HP-nya menunjukkan waktu yang sama.
 Dengan setengah ngedumel, mau tidak mau Insan bangkit untuk bersiap-siap. Untuk pergi ke kantornya, Ramadhana Coorporation. Sebuah produsen pakaian wanita berkelas. Hanya butuh waktu lima belas menit jalan kaki. Kantornya berada di kompleks yang sama dengan apartemennya. Masalahnya, pekerjaan yang mestinya untuk minggu depan harus siap nanti, berarti ia harus ekstra kerja keras.
 Insan masih menggerak-gerakan badannya disana sini. Sepertinya masih berat untuk bangun. "Resiko jadi manajer kreatif," bisik Insan perlahan.
Usai mandi, Insan mengoleskan berbagai lotion untuk menjaga kecantikannya. Adzan Shubuh terdengar sayup-sayup dari tempat Insan. Wajah Insan yang cerah, dibalut dengan mukena cantik. Menunaikan sholat Shubuh dan melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Hatinya terasa damai.
        Selepas itu, Insan meminum segelas hot chocolate dan setangkup roti berlapis keju. Santapan wajibnya setiap pagi sebelum bekerja. Kini Insan sudah ada di depan meja riasnya. Terlihat seperangkat alat make up yang tersebar di meja rias; parfume, berbagai aksesori - gelang, giwang, cincin, dan kalung, agenda, blackberry keren, tas branded, dan arloji berkelas.
Dengan lincah dan cekatan Insan memoles wajahnya yang segar. Dia mengoleskan lipstik merah ceria. Gerakan tangannya pasti dan terampil. Ia memasangakan seluruk aksesori yang ada pada tempatnya. Terakhir, mengenakan cincin berlian di kedua jari manisnya. Tak lama jemari lentiknya menyambar syal sutra yang lembut dan cantik. Melilitkan di lehernya dengan ringan dan cekatan.
 Insan mengulas senyum pasti di depan cermin. Setelah yakin tidak ada yang kurang, ia beranjak ke sisi ranjang. Ia duduk dan kedua tangannya memasangkan stocking dengan gerakan  yang seksi. Akhirnya, kaki jenjang bers-stocking telah emngenakan stiletto apik. Padanan yang sempurna untuk seorang wanita karier.

**********


Ruangan yang gelap gulita. Insan masuk dan menyalakan lampunya. Kini Insan telah berada di ruangan kerjanya. Tempat yang tak kalah stylish dengan apartemennya. Sekeliling ruangan masih senyap. Baru jam setengah lima pagi.
Semestinya kalau sekedar membereskan pekerjaan, Insan tak perlu dandan sebegitu rupa. Toh, ia melakukannya. Tak mau menanggung malu lagi. Ia pernah datang ke kantor jam lima pagi dengan pakaian sekadarnya. Tanpa diduga meeting dadakan jam enam pagi. Semua orang sudah siap dengan pakaian kerjanya. Tak ada kesempatan untuk kembali ke apartemennya. Oh my Gosh! Insan tak akan mengulanginya lagi.
Setelah menyalakan musik player-nya, Insan mulai bekerja. Tangannya  bergerak lincah kesana ke mari. Ia menyiapkan semua materi desain. Merapikan. Menyempurnakan. Menyeleksi-nya. Dengan segala usahanya, Insan menyelesaikannya sampai jam delapan kurang dua puluh menit.
Baru saja Insan hendak menyandarkan punggungnya agar lebih lega, ketika wajah Kamil muncul di depannya. Sosok lelaki jangkung berparas tampan itu tampak tak bersahabat. Dia sudah mengenakan pakaian kerja lengkap. Seolah pagi itu, waktu yang penting buatnya.
“Pagi, Pak!” Insan berusaha ramah.
Usianya dengan Kamil hanya selisih enam tahun. Ia harus memanggilnya ‘Pak’ karena Kamil adalah bosnya.
“Sudah siap?” tanpa menjawab salam, Kamil langsung menuntut dengan suaranya yang khas. Dingin. Beku. Tak bersahabat.
“Sudah. Tinggal mengemasnya biar lebih mudah dibawa,” jawab Insan.
“Itu namanya belum siap, Insan!” seru Kamil dengan tatapan galak. “Bereskan semuanya. Antar ke ruangan saya lima menit lagi!”
Insan menarik napas panjang. “Kenapa sih dia nggak pernah ramah?”
Ia mengemas pekerjaannya dalam document box yang lebih besar. Setelah siap, ia beranjak ke ruanagan Kamil.
“Ini Pak. Semuanya sudah saya beri keterangan detail. Biar Bapak mudah menyampaikan pada klien. File-file sudah saya transfer ke PC Bapak,” kata Insan hati-hati.
“Kamu mau mendikte saya?” serunya sambil membuka document box yang baru diserahkan Insan. “Siap-siap. Ikut saya jam delapan!” perintahnya.
Insan tentu saja kaget dengan perkataan Kamil.
“Saaa….saya, Pak?”
“Kamu tuli apa?” bentak Kamil.
“Oh, eh, iya. Iya , Pak…..tapi, apa yang mesti saya lakukan?” Tanya Insan dengan tampang bingungnya .
“Bodoh!!!” bentak Kamil. Tentu saja presentasi pada klien! Berapa lama kamu kerja sama saya? Masih nggak ngerti juga kalau pergi sama saya, tentu saja ketemu klien! Presentasi! Jual desain!” teriak Kamil masih dengan suara galak.
“Oh, iya, iya, Pak!”
Insan pergi dengan setengah bingung. Keget. Sekaligus surprise. Entah angin apa yang membuat Kamil pagi-pagi mengajaknya pergi. Ini hal yang menyenangkan. Berarti Kamil mulai percaya padanya. Namun juga tak mudah buat Insan. Ia tak sempat menyiapkannya dengan lebih baik.
Waktu berlalu terasa sangat lamban bagi Insan. Tidak biasanya ia merasa sangat nervous seperti hari itu. Untunglah, walaupun tak sepenuhnya siap, ia menguasai dengan baik pekerjaannya.
Detik-detik yang mendebarkan buat Insan pun segera berlalu. Presentasinya berhasil. Klien mereka langsung menjatuhkan pilihan pada beberapa desain Insan. Legalah hati Insan. Setidaknya, kerja kerasnya dari pagi tidaklah sia-sia.
Insan tidak berharap apa-apa, kecuali ucapan terimakasih dari Kamil. Ternyata lelaki tampan itu tetap dingin. Tidak ada sepatah kata pun dari bibir bagusnya. Sampai mereka tiba kembali di kantor.
“Waduh, Insan pagi-pagi sudah kencan sama bos. Gimana, seru dong?” seru Sandra, manajer pemasaran saat mereka bertemu di lobi kantor.
“Seru apanya? Yang ada juga gue bĂȘte!” balas Insan kesal.
Sandra mendekat. “Eeh, bĂȘte kenapa?”
Insan mendengus kesal. “Bayangin aja, San. Jam setengah empat gue disuruh ke kantor. Nyiapin materi presentasi yang mestinya buat minggu depan. Harus siap sebelum jam delapan. Gue yang presentasi dan klien pesan banyak. Eeeh. Boro-boro terimakasih. Senyum aja enggak!” sewot Insan.
“Masa sih? Biasanya dia nggak gitu. Orangnya baik, tapi ya………..sedikit galak. Hihihihihi…”
“Aaaaaaaaaah, gue emang apes kalau sama dia,” kata Insan sambil beranjak. “Gue ke ruangan dulu ya, Pusing banget nih!” tambah Insan sambil melangkah pergi menuju ruangannya.

**********

       Baru saja Kamil masuk ke ruangannya. HP- nya berdering-dering tidak mau berhenti. Beberapa kali diliriknya, tapi dibiarkan saja. Rupanya si penelpon tak mau berhenti. Akhirnya Kamil menerimanya.
        “Assalamualaikum, Ma……”
        “Wa’alaikum salam. Susah banget sih ditelpon, Dhana?!”
Lagi di luar.”
 “Mau di luar, mau kemana kek, HP kan mestinya ada sama kamu. Adikmu barusan cerita, kamu masih nungguin Pingkan. Berapa kali Mama bilang, lupakan Pingkan! Dia sudah nikah dengan lelaki lain! Kenapa kamu masih aja ngarepin dia? Seperti nungguin godot! Nggak ada gunanya! Cari perempuan lain, apa susahnya sih?!”  semprot mamanya dari seberang terdengar keras dan kesal.
 “Ma, kan Dhana sudah bilang. Ini soal hati. Butuh waktu untuk ngelupain Pingkan. Mama nggak usah ngedikte! Serunya.
 “Mama ngerti. Tapi sampai kapan Dhana? Mama bosan, tiap datang ke kawinan ditanya kapan mantu kamu terus. Lah kamu, calon istri aja nggak punya!”
 “Iya, iya. Mama tenang aja. Nanti pasti Dhana bawain calon mantu. Sudah ya. Lagi sibuk nih,” Kamil memutuskan hubungan telepon.
 Di seberang sana, Ratna, mamanya Kamil mengomel panjang pendek. “Dasar bocah gemblung. Orang tua ngomong nggak pernah dipeduliin.”
 Mamanya Kamil kembali masuk ke ruangannya. Sebenarnya ia tidak ingin mengejar-ngejar Dhana untuk segera menikah. Tapi semlam, ia mimpi bertemu almarhum suaminya. Pasti, itu mnegingtakannya agar menyuruh Dhana cepat-cepat menikah. Sebelum suaminya meninggal, Dhana memang sudah hendak menikah. Sayang, Pingkan mengacaukan semuanya. Perempuan itu pergi meninggalkan dhana dan menikah dengan lelaki lain. Lalu, Dhana pun tak jadi menikah. Sampai papanya meninggal. Sampai sekarang, dua tahun sudah berlalu.
 Sementara itu, di ruangannya Kamil merenung. Telepon mamanya selalu membuat Kamil resah. Ia menarik napas panjang. Mencoba mengeluarkan seluruh beban hidupnya. Selintas pertanyaan muncul di hatinya.
 “Siapa sebenarnya pasanganku?”
 Wajah-wajah perempuan cantik silih berganti memenuhi benaknya. Begitu cepat hingga ia tak bisa mengenangnya. Kamil menatap dirinya. Dalam balutan PSL, seorang pengusaha muda yang sukses. Mudah baginya memilih perempuan. Tapi…………

 Rumah yang luas. Berlantai dua dengan desain minimalis sekaligus klasik. Corak kayu jati dengan warna pelitur kecoklatan yang mengkilat disana sini. Dinding-dinding pembatas ruangan, sebagian besar dari kayu jati. Meja, kursi, perabot, dan isinya pun tak jauh-jauh dari kayu. Nuansa klasik yang kental. Ornamen dan hiasan-hiasan dinding punsemuanya bercorak klasik.
 Di halaman depan yang luas ditanami segala jenis tanaman buah-buahan. Bunga-bunga tumbuh  subur dengan aneka warna di salah satu sudut taman. Di pojok kirinya ada kolam untuk ikan hias dengan gua-gua buatan dan air mancur yang tercurah.
 Di samping kiri rumah ada mushola dengan dominasi warna hijau yang sejuk. Di dekatnya ada sebuah tempat yang luar biasa. Perpustakaan dan studio gambar. Lengkap dengan perabotannya.
 Di samping kanan rumah ada sebuah tempat terbuka, tapi terlindung dari panas dan hujan. Beberap[a mobil mewah terparkir di sana. Lalu beranjak ke belakangnya, ada tembok pembatas. Di sana terdapat berbagai jenis tanaman yang luar biasa teduh, rimbun, dan menyejukkan.
 Di sisi tempat parkir mobil ada tanah berumput terbuka dengan tanaman pelindung yang besar. Tempat untuk olahraga. Ada jogging track di daerah tersebut. Satu areal digunakan khusus untuk lapangan tenis.
 Terpisah dari halaman belakang, satusatu tembok pembatas yang cukup tinggi. Satu dengan lainnya dihubungkan oleh pint. Di dekatnya ada banyak kolam untuk ikan lele dan gurami. Di ujung yang lain, ada kambing-kambing yang tak kalah banyaknya. Sungguh, areal rumah yang sangat luas dan mengagumkan…………
 Di dalam rumah, terasa ada yang menarik hatinya. Sesosok perempuan cantik. Berwajah teduh. Bermata bulat bening . memakai kerudung rapi dalam balutan busana muslim. Tersenyum cantik sekali. Kepadanya…….

Kamil membuka mata. Serasa mimpi, tapi seolah nyata. Bayangannya terasa lekat dalam hari-hari panjangnya. Semenjak Pingkan meninggalkannya. Menggoreskan luka, yang tak kunjung pulih. Ia lelaki. Seperti kata orang, tak pantas menangis. Tak perlu bersedih. Toh ia menangisi nasib buruknya. Ditinggalkan oleh seorang perempuan yang dicintainya.
 Lalu…wajah itu selalu datang. Tersenyum cantik sekali. Sayang, ia tak mengenalinya. Rumah teduh dengan nuansa damai itu sellau membayanginya. Seolah mengingatkannya pada sosok dirinya yang lain.


Ikhwan…..
 Kamil berpakaian koko. Membawa sajadah. Mengenakan kopiah di setiap kesempatan. Menyerukan dakwah. Menebarkan panji-panji kejayaan Islam. Di setiap waktu dan kesempatan hidupnya. Di kampus. Di dunia kerjanya.
 Ustad hambali….
 Sosok teladan yang telah mendidiknya menjadi pemuda Islam yang santun. Dosen agama yang luas pengetahuannya. Yang rendah hati perilakunya. Yang membawanya pada tempat teduh bernama iman.
 Jogja yang selalu dirindukannya…… Kota budaya yang mengajarinya mengenal Tuhan. Membawanya menyembah Gusti Allah SWT. Mengokohkan akidah dalam jiwanya.
 Jakarta memanggilnya pulang… Seperti hempasan angin…. Memporak-porandakan bangunan yang kokoh di hatinya. Tatapan yang asing padanya. Keanehan yang tak bisa bersejajar dengan ritme hidupnya. Perlahan, tapi pasti bangunan itu pun roboh. Puing-puingnya pun tak tersisa.
 Tak ada sosok Kamil yang ikhwan. Tak ada pembicaraan Islam sedikitpun. Pilihan terhadap perempuan, sepenuhnya berubah. Yang diinginkannya adalah Pingkan. Gadis cantik dengan wajah glossy yang layak jadi model papan atas. Denngan dandanan glamor yang ditemukannya di keriuhan malam Jakarta.
 Agama… Ia tak tahu apa Pingkan taat beragama. Baginya yang penting, Pingkan Islam. Tak akan mempersulit urusan keluarga. Tak ada permasalahan dengan akad nikah mereka.
 Segalanya yang terlewatkan, pernah memberikan arti. Pingkan meninggallkannya. Luka yang dalam. Lima tahun dalam cinta. Terasa begitu sakit dikhianati.
 Malangnya, di sisi hati lainnya ada kerinduan yang menyesakkan. Kalbunya terasa merintih redam. Renjana hatinya gundah gulana. Perempuan sholehah. Keluarga sakinah. Rumah islami. Hidup yang sempurna. Dakwah dan jihad.
 Dimanakah semuanya? Bisakah ia menggapainya, lagi?!
Jogja……benarkah  tempat dalam angannya ada di Jogja?
Kota yang indah……….! Terasa membawanya malu untuk kembali…..
Apakah ia harus kembali ke Jogja?

Dering telepon terdengar di mejanya. Membuyarkan semua konsentrasi akan mimpi-mimpi Kamil. Ia terdongak dan menjangkau telepon.
“Ya….”
 “Ada telepon di line dua, Pak.”
“Terimakasih.”

**********




No comments:

Post a Comment